Hari Senin pagi usai menyelesaikan urusan di kantor Dikpora, aku mampir ke Bank BPD. Sampai di sana ramai sekali. Dari seragam pakaian abu-abu yang dikenakan kayaknya mereka para guru nih. Ngapain ya, barangkali gajian. Tapi nih tanggal setengah. Atau barangkali mencairkan subsidi pendidikan yang baru saja keluar. Tapi itu juga sudah lewat. Akhirnya usut punya usut mereka nih para kepala sekolah SD. Sedang mencairkan dana BOS.
Setelah ambil kartu antrean aku celingukan mencari tempat duduk. Maklum pagi itu Bank BPD benar-benar penuh sesak. Tapi akhirnya aku dapatkan juga sebuah kursi kosong. Lalu akupun melenggang ke sana. Dan karena loket teller yang dibuka hanya satu, antrean tambah banya. Untuk merintang waktu akupun mengeluarkan buku yang barusan aku pinjam dari perpustakaan daerah.
Tapi rentetan kalimat dalam buku itu sama sekali tak dapat aku nikmati dengan baik. Aku malah keasyikan mengamati para Bapak dan Ibu guru yang tengah mencairkan dana BOS itu. Ceria sekali tampaknya. Apa hubungannya, ya?
Kemudian aku mulai berandai-andai, ah andai saja di TK juga ada dana BOS, ya. Tentu tidak akan seperti ini kondisi pendidikan di TK. Aku kemudian teringat keluhan teman aku yang baru saja memasukkan anaknya ke sekolah TK. Temanku tuh mengeluh karena baru masuk dua hari saja, anaknya sudah kelihatan bosan, protes mau mogok sekolah karena pembelajaran di TK yang cenderung one way. Sebagai orang yang berkecimpung di dunia per-TK-an, akupun bilang pada temanku kalau kondisi TK-TK di Indonesia itu memang sangat memprihatinkan. Karena terkendala masalah dana dalam penyelenggaraannya, kurangnya perhatian pemerintah pada PAUD, dan kurangnya SDM yang memadai.
Temanku bisa menerima. Karena memang seperti itulah kondisi dunia ke-TK-an kita. Pembelajaran yang membosankan anak, tidak mengakomodasi gaya belajar anak, tidak sesuai tahapan perkembangan anak. Itu sudah biasa. Teorinya aja yang ideal. Keadaan di lapangan sangat jauh panggang dari api.
Bukannya gurunya tidak tahu atau tidak mau. Ya itu tadi masalah dana. Untuk pembelajaran yang aktif kreatif kan butuh dana yang tidak sedikit. Sedangkan dalam pengoperasian lembaga TK sepenuhnya secara swadaya. Bagi yang yayasannya bonafid, OK-lah ditarik dana besar-besaran. Bahkan temanku bilang lebih mahal dari biaya anak kuliah. Tapi buat yang yayasannya kecil, masyarakatnya miskin, gimana mau ditarik sumbangan besar. Dampaknya guru-guru TK yang merupakan nafas pembelajaranpun dibayar seadanya. Sangat jauh dari standar kelayakan. Bayangkan, masih banyak guru-guru TK kita yang kebanyakan berstatus guru WB menerima honor lima puluh ribu rupiah sebulan! Hal tersebut tentu sangat berpengaruh pada kreativitas sang guru dalam mengelola pembelajaran bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar