Hari Kamis kemarin adalah Pengumuman calon peserta sertifikasi yang akan mengikuti PLPG mendatang. seperti yang saya duga sebelumnya, saya tidak lolos untuk mengikuti sertifikasi 2011. Entah kenapa? Rasanya udah nggak enak saja. Dan untuk Kecamatan tempat saya bernaung, dari 9 guru TK hanya meloloskan satu orang saja. kebetulan beliau adalah Kepala Sekolah saya.
Wah kaget betul saya dan kecewa tentu saja. Harapan untuk meningkatkan kesejahteraan melalui sertifikasi harus dikubur rapat-rapat untuk tahun ini. Namun saya pasrah saja deh sama Allah. Dia yang menentukan segalanya. Anggap saja ini belum rejeki saya.
Namun berbagai pertanyaan masih saja menghantui kami, para pendaftar sertifikasi yang tidak lolos ini. Kriteria apa yang dipakai untuk meloloskan seseorang mengikuti PLPG? Kriteria umur, masa kerja, golongan, ataukah prestasi? Sangat tidak jelas.
Namun kepada siapa saya harus bertanya? Pada rumput yang bergoyang? Karena semua menjawab tak mengerti.
Wah, walaupun sudah mencoba ikhlas, namun tak urung semangat kerja langsung kendor juga. Begitu juga teman-teman saya yang tahun ini tidak lolos. Bukannya apa-apa. Kami tahu kuota sertifikasi sangat terbatas. Jadi harus antri. Cuma kami bertanya-tanya bagaimana kriteria seseorang yang bisa lolos ikut sertifikasi? Apakah hanya faktor umur yang menjadi bahan pertimbangan? Tanpa pernah sekalipun mengintip track record dari peserta sertifikasi? Lalu saya pun bertanya, Apakah sebuah profesionalitas itu bisa diukur dari lamanya masa kerja dan tuanya umur seseorang? Dan kenapa yang menjadi prioritas peserta sertifikasi justru yang sudah berstatus PNS? Yang secara nyata-nyata sudah menerima gaji.
Saya mulai tergelitik dengan pemikiran, apa tidak seharusnya yang lebih di prioritaskan untuk mengikuti sertifikasi ini dari guru Wiyata Bhakti? Guru PNS, mereka secara nyata harusnya sudah bisa dianggap profesional karena memang sudah lolos seleksi menjadi Guru PNS. Sedangkan para guru Wiyata ini untuk membuktikan diri bahwa mereka profesional membutuhkan sebuah sertifikat, sebuah pengakuan. Yakni melalui program sertifikasi.
Tapi yang terjadi kebanyakan peserta sertifikasi adalah mereka yang sudah berstatus PNS. Dan mereka sudah bergaji. Jika kondisi seperti ini peningkatan profesionalisme bagi kalangan guru wiyata hanya isapan jempol belaka. Karena tidak bisa kita pungkiri kalau profesionalitas itu terkait dengan materi. Kita tidak perlu munafik untuk mengakui hal ini.
Dengan beban kerja yang sama, tanggung jawab yang sama, harusnya mereka juga bisa memperoleh hak yang sama. janganlah hanya jika masalah beban kerja para guru wiyata ini ditekan-tekan, tetapi masalah hak selalu dikesampingkan!
sabar ya bu ,kegagalan adalah keberhasilan yg tertunda
BalasHapusTerima kasih buat motivasinya Rafie. Tentu selalu bersabar. :)
BalasHapus