Jumat, 28 Januari 2011
MENIMBANG BUAH KEIKHLASAN
“Gajian,” bendahara sekolah datang seraya menyodorkan buku tanda terima gaji, dan uang lima puluh ribuan.
Anti tersenyum dan membubuhkan tanda terima di atas namanya.
“Terima kasih,” senyumnya seraya mengibarkan uang lima puluh ribuan yang diterimanya.
Untuk mengajar anak-anak selama satu bulan, itulah honor yang diterimanya dari sekolah. Maklumlah, guru wiyata. Walau hati terasa berat menjalani itu semua namun ia harus senantiasa bersabar. Dengan harapan suatu saat nasibnya akan berubah. Walau ia tak tahu dengan cara bagaimana.
Mengharapkan ikut CPNS, usianya sudah kadaluarsa. Tapi berhenti dari menjadi guru wiyata? Ia terlanjur mencintai pekerjaannya. Orang bilang kepalang basah. Ya, mandi saja sekalian. Lagipula nanti dia bingung mau melakukan apa.
“Kalau kau merasa berat, berhenti saja,” kata suaminya manakala ia mengeluhkan badannya sakit semua. Kecapaian.
Maklum untuk mencapai sekolahnya ia harus naik turun bis kota, lalu melanjutkan perjalanan dengan sepeda sejauh hampir tiga kilo meter. Mending kalau jalannya bagus. Lha ini jalanan penuh lubang. Sehingga tak ayal ia harus goyang reggae ketika melaluinya. Belum lagi jika musim hujan tiba, dijamin sepatunya bakalan mandi lumpur sesampainya di sekolah. Tak jarang ia harus menerima komentar kritis anak-anak didiknya.
“Bu Anti, sepatunya kotor,” kata anak-anak.
“Iya nih, tadi ibu kecebrot lumpur,” katanya. Dan habis itu anak-anak biasanya tertawa. Mentertawakan kemalangannya? Anti hanya tersenyum.
Kadang dia memang merasa sangat lelah dan putus asa. Perubahan nasib yang diinginkan tak kunjung tiba. Sementara segala ikhtiar rasanya telah dilakukan. Nampaknya Allah menghendaki ia harus lebih sabar dan tabah menjalani hidup. “Yang penting lakukan dengan ikhlas, luruskan niat. Didik anak-anak dengan baik. Tuhan tidak akan memberikan cobaan yang melebihi kemampuan hambanya,” sebuah kalimat klise yang selalu diucapkan sang suami untuk memompa motivasinya manakala dia merasa sangat putus asa.
Dan akhirnya tujuh tahun sudah dia menjalani itu semua. Kendati secara materi tak menjanjikan apa-apa. Bahkan bisa dibilang dia harus mengeluarkan uang terlebih dahulu untuk biaya transportasinya. Karena tunjangan dari pemerintah yang seratus lima puluh ribu itu biasanya keluar enam bulan sekali. Lumayan untuk mengganti ongkos transportasinya.
Pagi ini seperti biasa Anti mengayuh sepedanya dengan riang. Entah kenapa hatinya begitu gembira. Mungkin udara pagi yang segar, dan pemandangan karpet hijau pesawahan yang membentang menyejukkan jiwanya. Gunung-gunung yang biasa tertutup kabut pun memamerkan keindahannya. Biru keabuan menghias cakrawala pandangnya. Burung-burung pipit beterbangan memperebutkan serangga. Sungguh karunia alam yang tidak setiap orang bisa menikmatinya.
“Kenapa nggak pakai sepeda motor saja?” begitu tanya orang-orang yang kerap kali merasa kasihan terhadapnya. Karena harus terus bersepeda.
“Ngurangi polusi dan pemanasan global,” begitu kilahnya.
“Alah, idealis banget sih,” rekannya mentertawakannya.
Biasanya Anti hanya tersenyum saja.
“Selamat pagi, Bu guru?” sapa beberapa anak yang ditemuinya di pintu gerbang.
“Pagi,” balasnya tersenyum.
Tanpa terasa perjalanan tiga kilo sudah terlampaui. Habisnya dia suka melamun kala bersepeda. Sambil mengolah ide-ide cerita yang berseliweran di kepalanya. Yah, bu guru satu ini memang seneng banget nulis cerita. Walaupun yah, ceritanya selalu di tolak tiap kali ditawarkan ke media masa. Tapi yang namanya hobby, yah dilakukan saja.
“Bu, ada surat,” kepala sekolah menyodorkan sebuah amplop coklat besar.
“Terima kasih,” katanya menerima amlop coklat itu.
Dibacanya alamat pengirim surat itu. Pusbuk Depdiknas. Ah, barangkali naskah yang dikirimkan ke sana tidak lolos. Dibukanya amplop coklat itu dengan berdebar. Dan alangkah kagetnya ketika ternyata surat itu berisi pemberitahuan kalau dirinya merupakan salah satu calon juara dalam sayembara penulisan naskah buku yang diselenggarakan oleh Pusbuk. Untuk itu pada tanggal sekian ia di panggil ke Jakarta untuk mengikuti acara penganugrahan pemenang.
“Subhanallah!” serunya gembira. “Alhamdulillah, terima kasih, ya Allah.” Anti tidak dapat menyembunyikan keharuannya. Berkali-kali rasa syukur terucap dari bibirnya.
Rejeki Allah memang tidak bisa di terka dari mana datangnya. Buah dari keikhlasan yang dijalaninya. Semoga menjadi barokah untuk semuanya.
Hikmah yang dapat dipetik:
Jika kita melakukan suatu kebaikan dengan ikhlas maka Allah akan membalas dengan kebaikan yang berlipat-lipat dan tidak terduga.
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Cermin Berhikmah di BlogCamp.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam K.U.C.B
BalasHapusArtikel anda akan segera di catat
Salam hangat dari Markas New BlogCamp di Surabaya
Terima kasih, Bapak Shohibul. Semoga dapat memberikan hikmah kepada yang lainnya.
BalasHapus