Jika sudah mampir silahkan tinggalkan Pesan, Kritik atau Saran pada kolom komentar. Sebagai tanda persahabatan

Kamis, 22 Desember 2011

KASIH SEORANG IBU

KASIH SEORANG IBU

Sebuah Dongeng dari Jerman
Diceritakan kembali oleh: Koko Darjono
Penerbit: Intan Pariwara 1979

Seorang janda nelayan hidup bersama anak perempuannya yang masih kecil, di sebuah pondok di tepi pantai.

Suami janda itu telah lama meninggal, tenggelam ditelan ombak di tengah lautan, ketika sedang menjala ikan.

Tak jauh dari tempat tinggalnya beribu-ribu kulit kerang warna-warni berserakan di pantai itu. Ada yang dalamnya berwarna hitam dan luarnya berwarna biru, ada yang berwarna putih keperak-perakan. Bentuknya pun bermacam-macam pula. Ada yang bulat pipih, ada pula yang berbentuk tanduk seperti terompet. Dengan kerang-kerang itulah setiap hari anak kecil itu bermain-main menghabiskan waktunya.

Dengan gembiranya dia meloncat-loncat di pasir, berlari-lari dengan wajah cerah dielus angin laut yang lembut. Bahkan kadang-kadang, dia pun bermain berkejaran dengan ombak lautan yang dengan mesranya menjilat bibir pantai. Buih-buih putih itu seolah-olah mengajak anak kecil itu bermain berkejar-kejaran dengannya.

Tetapi, sebenarnya, ibu itu sangat cemas dengan kebiasaan anaknya. Ibu itu tidak akan bisa melupakan betapa ombak laut yang ganas itu telah membunuh suaminya. Setiap hari ibu itu selalu berpesan kepada anak satu-satunya itu,

“Nak, janganlah kamu bermain terlalu jauh. Dekat-dekat sajalah. Ingat, ombak laut itu sungguh jahat. Ayahmu telah mati ditelannya.”

“Ya, Ibu,” jawab anaknya itu selalu.

Namun jika sudah berada kembali di pantai, dia akan segera lupa pesan ibunya. Dengan gembiranya dia akan kembali bermain, berkejar-kejaran dan berkejaran dengan lidah ombak yang menjilat-jilat pantai.

Pada suatu hari, ketika ibu itu sudah selesai menyiapkan makan siang anaknya, ternyata puterinya itu belum menampakkan diri. Ibu itu dengan sabar menanti kedatangan anaknya.

Tetapi hingga sore tiba anak itu belum kembali juga. Dan mulailah ibu itu merasa cemas. Kemudian dia pergi keluar, menyusuri sepanjang pantai mencari anaknya. Beberapa lamanya dia mencari tetapi tak berhasil menemukan anaknya. Dia mulai berteriak-teriak memanggil dan bertanya kepada setiap nelayan yang ditemuinya, tetapi sia-sia saja. Tak seorang pun melihat anaknya.

Ketika malam sudah tiba dan sinar matahari sudah menghilang dari cakrawala, ibu itu masih berkelana di sepanjang pantai, mencari puteri kecilnya. Sampai tengah malam tiba, ketika seluruh badannya sudah terasa sangat lelah dan suaranya hampir habis memanggil-manggil, dia sudah berniat segera pulang ke rumah dengan perasaan sedih dan putus asa.

Pada saat itulah tiba-tiba dia mendengar suara nyanyian merdu dibawa angin oleh angin malam.

Ibu itu berdiri tegak di tempatnya. Dengan wajah terpana dia melihat seorang Putri Laut bernyanyi merdu di tengah ombak lautan:
Di dalam istana gelasku, di kamar kaca.
Di sana bermain semua anak-anakku.
Nelayan, pulanglah kamu segera.
Karena aku tidak mengijinkan mereka keluar.

Ketika ibu itu mendengar nyanyian Putri Laut yang berdendang tentang anak-anaknya di kamar kaca, dia berpikir : anaknya berada di antara mereka. Maka berlututlah dan bertanyalah dia dengan penuh harap, “Apakah Putri Laut melihat seorang anak perempuan kecil, cantik, yang setiap hari bermian-main di pasir pantai ini?”

“Apakah rambutnya pirang?” tanya Putri Laut itu.

“Ya, ya, rambutnya memang pirang,” jawab ibu itu dengan gembira.

“Dengan kaki telanjang?” kembali Putri Laut itu bertanya.

“Ya, ya, benar,” jawab ibu itu semakin gembira, seakan-akan dia merasa bahwa Putri Laut itu sudah siap untuk menyerahkan putrinya yang bertelanjang kaki dan telah hilang itu kepadanya.

Tetapi, Putri Laut ternyata berkata, “Ya, aku tahu di mana anak itu berada sekarang. Dia berada di dasar lautan ini, di dalam istana gelasku. Dia sehat seperti ikan dan bermain dengan gembira bersama anak-anakku yang lain.”

“Dia anakku!” teriak ibu itu meratap.

“Ya, dulu. Tetapi, sekarang dia telah menjadi milikku!” kata Putri Laut itu.

Kemudian ibu itu mulai menangis keras-keras. Dia meratap dan memohon pada Putri Laut untuk menyerahkan kembali anak satu-satunya itu.

Tetapi, Putri Laut itu kemudian berkata, “Baiklah. Aku kasihan kepadamu. Tetapi, orang tak akan bisa hidup di dalam lautan. Bagi mereka yang sekali berada di dalamnya, tak akan mungkin lagi bisa kembali. Namun, aku akan membawamu ke istanaku di dasar lautan. Di sana akan kuberikan kesempatan satu kali kepadamu untuk menyaksikan anakmu itu. Tetapi, apakah kamu mempunyai keberanian untuk mengikutiku jauh ke tengah lautan, dan kemudian masuk ke dasar lautan yang sangat dalam? Apakah kamu berani?

“Oh,” kata ibu itu. “Aku tak takut! Bawalah aku ke tempat anakku!”

Maka berenanglah Putri Laut itu ke tepi pantai, menggandeng tangan perempuan itu dan kemudian kembali berenang ke tengah laut.

Ibu itu berpegang erat-erat pada tangan Putri Laut yang berenang ke tengah lautan memecah ombak.

Sangat cepat! Lebih cepat dari perahu yang paling cepat. Lebih cepat dari pancaran sinar matahari musim semi.

Di atas mereka, kegelapan malam menyelimuti lautan yang luas tak terbatas itu. Mereka terus berenang di bawah gemerlipnya berjuta bintang di langit lepas. Tiba-tiba di suatu tempat di tengah lautan, Putri Laut itu berhenti. Dan, ketika memandang ke dasar lautan, ibu itu menyaksikan suatu berkas sinar gemerlapan memancar nun jauh di sana, di kedalaman laut yang luas itu.

“Di sinilah tempatnya,” kata Putri Laut itu. “Sekarang ambillah nafas dalam-dalam. Kemudian, tutuplah mata dan mulutmu rapat-rapat, karena kita akan segera menuju ke dasar lautan.”

“Apakah anakku berada di sana?”

“Ya,” jawab Putri Laut itu.

“Nah, kalau begitu bawalah aku cepat-cepat ke sana!”

Kemudian, dia menarik nafas dalam-dalam. Menutup mulut dan kedua belah matanya rapat-rapat, dan kemudian barulah dia merasa Putri Laut itu membawanya menyelam ke dasar lautan.

Ketika ibu itu membuka mata, tampak di bawahnya pancaran sinar itu semakin mendekat. Ke sanalah rupanya mereka akan menuju.

Sepanjang air yang dilaluinya, tampak bening dan gemerlap bagaikan kaca. Kemilau, terang benderang seakan-akan matahari sedang bersinar di tempat itu.

“Di sanalah anakku berada,” pikir ibu itu.

Dan, akhirnya mereka pun sampailah.

Di dasar lautan yang putih keperakan itu berdiri dengan megahnya istana Putri Laut. Istana itu terbuat dari gelas yang bening mengkilat, dengan tangga gelas berwarna kebiruan. Atapnya dari air, bening gemerlapan dengan indahnya.

Dari luar istana itu memancar seberkas sinar puth cemerlang menerangi ruangan-ruangan di dalam istana itu. Seakan-akan matahari sedang bersinar, memancarkan kehangatan sinarnya yang mengagumkan.

Di sekitar istana itu tumbuh pula tanaman laut dengan suburnya, seperti hutan perawan menghijau dengan diselingi kebun bunga warna-warni.

Setiap saat dia bisa melihat ikan-ikan berenang bebas kian kemari dengan riangnya.

“Kamu bisa menyaksikan pancaran sinar ini hingga jauh dari tempat ini,” kata Putri Laut.

Tetapi, ibu itu rupanya tak begitu tertarik dengan keindahan alam di sekitarnya. Pikirannya hanya tercurah pada anaknya yang hilang itu. Dia mulai memandang keadaan di sekitarnya. Tetapi, ternyata belum juga berhasil melihat anaknya.

“Di manakah anakku?” ibu itu bertanya kepada Putri Laut dengan perasaan tak sabar.

“Dia tidak berada di tempat ini,” jawab Putri Laut itu. “Aku akan membawamu ke kamar kaca, tampat anakmu berada. Tetapi, kamu hanya boleh melihatnya dari luar, dan tidak boleh membawanya pergi!”

Sampai saat itu dia belum berhasil melihat anaknya. Maka, berkatalah ibu itu, “Oh, kalau aku boleh melihatnya, tolonglah, bawa aku cepat-cepat ke tempat dia berada!”

Putri Laut itu kemudian menuntun ibu itu menaiki tangga istananya dan masuk ke dalamnya. Di sana ibu itu berjalan melalui suatu ruangan yang panjang dan luas. Semua dindingnya terbuat dari marmar dan kaca. Kemudian, sampailah mereka di sebuah ruangan penuh dengan suara sorak sorai maupun gelak tawa anak-anak yang sedang bermain. Riang gembira, seakan-akan tak mengenal kesedihan.

Putri Laut itu kemudian mengantarkannya sampai di depan kamar yang berpintu kaca. Dia hanya bisa berada di luar kamar itu; karena, pintunya terkunci rapat. Dari pintu kaca itu dia bisa melihat suatu ruangan yang sangat luas seperti ruang sebuah gereja. Ruangan itu penuh dengan anak-anak laki-laki dan perempuan dalam pakaian aneka warna.

Dengan riang gembira mereka bermain bersama. Berlari-larian, dan berkejar-kejaran, bernyanyi dan menari-nari, tanpa mengenal lelah.

Ibu itu menyaksikan kegembiraan anak-anak itu dengan perasaan haru, seakan-akan dia sendiri bisa merasakan betapa bahagiannya mereka.

Tetapi, pada saat yang sama, air matanya mulai mengalir membasahi pipinya. Dia sadar bahwa kedatangannya di sini ialah mencari anaknya yang hilang. Tiba-tiba, hatinya merasa tercekat, seakan-akan mau meloncat keluar melalui kerongkongannya. Karena tiba-tiba dia melihat seorang anak berambut pirang dan mengenakan rok merah.

Dialah anaknya yang hilang!

Ya, itulah anaknya. Kakinya telanjang tak bersepatu dan rambutnya pirang! Dia segera tertawa gembira, karena hatinya melonjak kegirangan tak terkira, air matanya terus mengalir membasahi pipinya.

Dia menatap sepuas-puasnya ke dalam ruangan itu, memandang anaknya yang hilang. Didorong perasaannya yang meluap karena kegembiraan itu, dia bertanya kepada Putri Laut, apakah dia boleh masuk ke dalam kamar itu.

Tetap, Putri Laut itu menjawab, “Tidak. Kamu tak boleh masuk! Bukankah aku telah mengatakannya, bahwa kamu dilarang masuk ke dalam kamar itu? Sekarang, bahkan telah tiba waktunya bagimu untuk segera kembali. Kamu telah melihat anakmu itu satu kali seperti juga telah kujanjikan kepadamu. Saya kira, sekali saja, sudah cukup bagimu!” Setelah mendapatkan kesempatan sebentar melihat anaknya, ibu itu mengharapkan untuk mendapatkan kesempatan yang lebih lama lagi.

“Baiklah!” kata ibu itu akhirnya. “Aku tak akan meminta lagi untuk diijinkan masuk ke dalam kamar itu. Tetapi, ijinkanlah aku untuk tetap tinggal di sini. Di depan pintu ini saja!”

Putri Laut itu mendengar betapa memelas dan mengharukannya permintaan ibu itu. Karena itu, timbul juga rasa belas kasihan di hati Putri Laut. Kemudian katanya, “Baiklah, kuijinkan kamu tinggal di sini, di depan kamar ini dengan pintu terkunci rapat.”

Dan ibu itu pun puas dengan ijin Putri Laut itu. Meskipun, ia hanya dapat memandangi putrinya melalui pintu kaca, memandang anak perempuannya yang bermain-main dengan gembiranya di dalam kamar itu.

Dengan asyiknya dia mengikuti setiap gerak anaknya dan setiap permainan yang dilakukannya. Siang dan malam, dia membayangkan bisa mengelus pipi anaknya yang sehat kemerahan, kakinya yang kecil, dan rambutnya yang indah kepirangan. Setiap malam, ibu itu tidur di lantai yang keras, di depan pintu kaca itu, dengan harapan di pagi harinya bisa melihat anaknya lagi. Ya, hanya sekedar melihat! Tak bisa berbuat lebih dari itu.

Akhirnya, timbul juga keberaniannya untuk mencoba meminta anaknya itu kepada Putri Laut.

Dan permintaannya itu tak dikabulkan oleh Putri Laut. Tetapi, ibu itu pun tak pernah putus asa, dan memohon terus.

Setiap hari dia bermandi air mata, merintih dengan penuh harap kepada Putri Laut itu meminta putrinya kembali. Bahkan, dia berjanji memberikan dan mengorbankan apa saja yang menjadi miliknya, atau mengerjakan apa saja yang bisa dia lakukan untuk mendapatkan kembali anaknya.

Tetapi, Putri Laut itu tetap menolak.

Pada hari berikutnya kembali ibu itu dengan tanpa jemu-jemunya menangis dan memohon pada Putri Laut itu.

“Coba dengarkan,” akhirnya Putri Laut iru berkata. “Hatiku pun tak akan sekeras batu gunung. Akhirnya timbul juga rasa belas kasihan di hatiku melihat tekadmu yang begitu besar. Aku akan bersedia mengembalikan anakmu itu kepadamu, tetapi dengan sebuah syarat.”

“Katakan apa syarat itu!” sahut ibu itu dengan cepat. “Aku akan bersedia mengorbankan segalanya, asalkan anakku bisa kembali!”

“Kamu harus memintal sebuah mantel buatku, yang terbuat dari helai-helai rambutmu sendiri!” sahut Putri Laut.

Tanpa banyak membantah ibu itu menundukkan kepalanya dan mempersilahkan Putri Laut itu memotong seluruh rambutnya yang hitam panjang itu sampai habis. Dengan kepala tanpa dihias rambut sehelai pun, ibu itu mulai memintal di depan pintu itu. Ketika rambutnya sudah habis terpintal, ternyata mantel itu belum juga jadi.

“Tidak, aku tidak mau menerima mantel yang belum selesai itu,” kata Putri Laut ketika ibu itu menyerahkan pintalan rambutnya.

“Kamu harus menanti sampai rambutmu tumbuh panjang dan menyelesaikan mantel itu hingga jadi,” kata Putri Laut itu menambahkan.

Ibu itu menangis sedih, dan memohon belas kasihan kepada Putri Laut. Tetapi, Putri Laut itu hanya menjawab, “Bukankah aku telah bersedia menyerahkan anakmu yang menjadi permintaanmu? Maka dari itu, kamu pun harus sanggup memenuhi apa yang menjadi permintaanku pula!”

“Ya, aku akan memenuhi apa yang menjadi permintaanmu,” kata ibu itu mencoba mengulur kesabarannya.

Dan diapun menanti hingga rambutnya tumbuh panjang kembali. Dan, dengan sabar pula ibu itu tetap menanti di depan pintu kaca itu. Sesekali dia meraba kepalanya untuk mengetahui apakah sudah cukup panjang rambutnya tumbuh.

Tentu saja sangat lama menunggu rambut itu tumbuh panjang kembali. Sementara itu, dia terus berusaha meminta belas kasihan Putri Laut. Tetapi, tetap saja dia disuruh menanti hingga mantel yang dijanjikannya itu selesai.

Maka, tak ada jalan lain baginya, kecuali dengan sabar menanti rambutnya tumbuh kembali sampai panjang.

Bertahun-tahun dia harus menanti di depan pintu itu, dan akhirnya rambut di kepalanya pun sudah cukup panjang. Kemudian Putri Laut itu pun datang memotongnya. Dan, dengan sabarnya ibu itu mulai memintal, meneruskan pekerjaannya yang belum selesai. Dia memintal dengan semangat yang menyala-nyala karena ia berharap akan bisa segera mendapatkan anaknya kembali. Dia memiintal dengan tekun di depan kamar kaca tempat anak perempuannya bermain dengan gembiranya bersama kawan-kawannya. Tetapi, ternyata setelah rambut itu habis terpintal seluruhnya, belum juga cukup untuk dibuat sebuah mantel. Dan, kepalanya pun sudah licin tanpa sehelai rambut pun. Dari mana dia harus mencari bahan kekurangannya?

Dia berpikir, mungkin Putri Laut itu akan merasa puas dengan mantel yang sudah hampir jadi itu. Sebab, bukankah sudah begitu banyak pengorbanan yang diberikannya untuk mewujudkan mantel itu?

Namun, ketika mantel itu diserahkan, Putri Laut itu berkata, “Aku tetap menginginkan seperti apa yang kukatakan dulu. Selesaikanlah mantel itu dahulu, barulah kuserahkan anakmu itu kepadamu!”

Dengan kesedihan yang amat sangat, ibu itu kembali ke tempat tinggalnya, di depan pintu kaca itu.

Sekali lagi dia harus menanti rambutnya tumbuh panjang kembali. Melihat penderitaan dan ketabahan ibu yang tak kenal menyerah itu, Putri Laut merasa kasihan juga. Maka, dibawanya sebotol obat kepada ibu itu. Dan, katanya, “Terimalah obat ini. Gosokkan di kepalamu. Dengan begitu, rambut yang ada di kepalamu akan tumbuh lebih cepat.”

Dalam deraan penderitaannya itu, ibu itu menerima obat itu. Air matanya berlinang penuh terima kasih yang tak terhingga. “Terima kasih atas pertolonganmu, Putri Laut yang baik budi,” katanya.

Segera digosokkannya obat itu di kepalanya, sambil menanti di depan kaca itu. Begitulah yang dilakukannya setiap hari. Menggosokkan obat itu di kepalanya dengan sabar, sambil mengawasi anaknya yang riang gembira bermain di dalam ruang kaca. “Semua ini kulakukan demi putriku,” katanya dalam hati.

Benar juga. Setelah digosok dengan obat itu, rambut di kepalanya tumbuh lebih cepat dari biasanya. Rambut yang tumbuh itu tampak mengkilat. Dan akhirnya, cukup panjanglah rambut itu untuk dipotong. Putri Laut datang memotongnnya hingga habis.

“Potonglah rambut itu. Potonglah sampai ke akar-akarnya. Aku rela menanggung semua ini demi anakku!’ kata ibu itu dengan tulus.

Dan, kembali dia memintal rambut itu untuk menyelesaikan mantelnya yang terbengkalai. Mantel yang merupakan gambaran dan pancaran cinta kasihnya terhadap anaknya. Akhirnya selesai juga mantel yang dibuat dengan pengorbanan besar dan kesabaran yang tak terbatas dari seorang ibu. Semua itu, dia lakukan demi putri yang dicintainya.

Dengan tak sabar lagi dia menghadap Putri Laut, dan menyerahkan hasil jerih payahnya yang bertahun-tahun lamanya itu.

Betapa senang dan kagumnya Putri Laut itu melihat mantel yang telah jadi itu. Mantel yang terbuat dari pintalan rambut seorang ibu. Begitu indah tak terlukiskan. Dia memuji tak habis-habisnya kesabaran ibu itu. Apalagi kalau Putri Laut mengingat penderitaan dan pengorbanan yang telah diberikan ibu itu demi terwujudnya mantel itu. Begitu besar kasih ibu itu terhadap anaknya, sehingga rela bertahun-tahun memintal mantel itu dengan segala penderitaannya. Memang benar-benar menakjubkan kasih seorang ibu itu.

Tetapi, rupanya ibu itu tak mendengarkan segala puji-pujian itu. Sebab, hanya satu yang dipikirkannya saat itu. Yaitu, dia akan segera bisa berkumpul kembali dengan anaknya. Oh, betapa senangnya!

“Berikan anakku itu sekarang juga, berikan sekarang juga!” pintanya.

“Nah, sekarang ikutilah aku!” perintah Putri Laut itu.

Dengan patuh dan kegembiraan yang meluap, ibu itu berjalan mengikuti Putri Laut. Mereka berjalan ke kamar kaca, tempat anaknya berada.

Pintunya segera dibuka. Anak perempuannya segera meloncat keluar. Sekarang dia sudah tumbuh menjadi seorang remaja. Cantik dan sehat, dengan tubuh tinggi semampai. Ibu dan anak itu segera berpelukan dengan mesra.

“Ayolah kita segera keluar!” kata Putri Laut itu.

Maka, ibu dan putrinya itu mengikuti langkah Putri Laut, berjalan keluar dari kamar itu.

“Sekarang, sudah tiba saatnya aku akan mengembalikan kalian ke tempat tinggalmu. Aku akan membawa kalian ke permukaan laut. Oleh karena itu, tariklah nafas dalam-dalam, pejamkanlah matamu, dan tutuplah mulut kalian rapat-rapat!” Ibu dan anak itu menuruti semua perintah Putri Laut itu.

Mereka menarik nafas dalam-dalam, menutup mulut dan kedua mata mereka rapat-rapat. Dengan dibimbing Putri Laut itu, ibu dan anak itu dibawa kembali berenang ke permukaan samodra.

Dari permukaan lautan itu, mereka dibawa berenang menuju pantai.

Begitu cepat Putri Laut itu berenang.
Lebih cepat dari terbang burung camar.
Lebih cepat dari anak panah yang terlepas dari busurnya.
Akhirnya sampailah mereka di pantai tempat ibu dan anak itu tinggal. Setelah menurunkan kedua orang itu di sana, bertanyalah Putri Laut kepada ibu itu, “Apakah kamu masih memerlukan obat untuk menumbuhkan rambutmu kembali?’ katanya ketika melihat kepala ibu itu masih gundul tanpa sehelai rambut pun.

“Ah, tidak, terima kasih,” jawab ibu itu tertawa gembira. “Aku telah mendapatkan kembali anakku, dan aku sudah tak memerlukan yang lain lagi!”

Dengan begitu, maka Putri Laut kembali terjun ke tengah lautan, membelah ombak, diiringi lambaian tangan ibu dan anaknya.

Den sejak saat itu, ibu itu hidup berbahagia bersama anaknya. Sedang gadis itu tak pernah lagi bermain di pantai yang berbahaya itu.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar