Menjelang akhir tahun ajaran marak iklan, pengumuman, selebaran, dan sejenisnya bertebaran. Apalagi kalau bukan penerimaan murid baru yang akan masuk ke SD. Yang agak mengejutkan dari pengumuman-pengumuman tersebut adalah dilakukannya tes penerimaan murid baru yang akan masuk ke SD. Hal tersebut dijumpai terutama pada sekolah-sekolah yang terbilang favorit di kota. Dan kebanyakan oleh sekolah-sekolah swasta yang selalu menjaga mutu dan kualitas input siswa.
Walaupun Mendiknas jelas-jelas melarang adanya tes bagi para siswa yang akan masuk ke SD, namun dalam kenyataannya praktek adanya tes sebelum masuk ke SD itu tetap berjalan. Bahkan semakin menjalar ke sekolah-sekolah lain. Adapun tes yang menjadi persyaratan untuk siswa agar dapat diterima di SD tertentu biasanya meliputi tes membaca, menulis, berhitung, dan kepribadian siswa.
Sebagai praktisi yang berkecimpung dalam dunia ke-TK-an yang mana output siswa dipersiapkan untuk masuk ke sekolah dasar, hal tersebut benar-benar menjadi dilema. Dengan adanya tuntutan seperti itu, secara otomatis pihak TK akan memasukkan program calistung dalam pembelajarannya. Bahkan terkadang pemberian calistung itu sudah seperti di SD saja. Anak diajar membaca, didikte, wah, tidak cocok sama sekali dengan ilmu yang kita dapatkan di bangku kuliah.
Selain itu saya juga melihat banyak sekali kegusaran pada diri para orang tua yang anak-anaknya belum bisa calistung dengan baik. Mereka mendesak guru agar anak-anaknya itu bisa seperti anak-anak yang sudah bisa calistung. Kerapkali saya juga melihat betapa mata orang tua itu sangat berbinar-binar ketika mereka membicarakan putra putri mereka yang sudah mahir calistung kendati masih duduk di bangku TK.
Memang sangat menyenangkan memiliki anak yang pintar. Namun pintar di sini bukan berarti telah mahir calistung. Karena pendidikan di Taman Kanak-Kanak sama sekali bukan mendidik anak untuk mahir calistung. Pendidikan di Taman Kanak-Kanak lebih difokuskan pada memfasilitasi anak untuk dapat berkembang sesuai usianya baik itu secara phisik maupun psikis melalui pendidikan moral dan nilai-nilai agama serta pengenalan kemampuan dasar kepada peserta didik yang meliputi kemampuan berbahasa, kemampuan kognitif anak, kemampuan fisik motorik, dan kemampuan sosial emosional anak agar mereka siap memasuki pendidikan selanjutnya.
Yang menjadi dilema adalah pendidikan selanjutnya ini menuntut anak-anak sudah pandai calistung. Hal ini karena pembelajaran di sekolah dasar itu pun sudah menggunakan teks yang panjang sehingga anak-anak yang kurang pandai dalam membaca sudah pasti akan ketinggalan. Bahkan dalam tes masuk yang diselenggarakan, seorang siswa lulusan TK dituntut untuk mengerjakan soal matematika penjumlahan dengan operasi terbalik. Misalnya begini, ada bintang 5 (gambar bintang) + …(kotak kosong)= bintang 8 (gambar 8 buah bintang). Nah anak-anak di suruh ngisi itu yang kosong ada berapa bintang? Mengetahui hal ini saya hanya bisa bersedih. Masalahnya di TK kami tidak pernah memberi pelajaran yang seperti itu. Jadi banyak yang gagal masuk di SD favorit karena tidak lulus tes.
Saya mulai berpikir, lalu apa gunanya semua peraturan itu, ya? Masuk SD tidak boleh di tes? Itu hanya di atas kertas. Di lapangan lain lagi yang berjalan. Apa benar peraturan dibuat untuk dilanggar? Masyaallah.
wajar kalau anda bersedih, TK tu kan usia pra sekolah, mestinya calistung kan hanya pengenalan saja, namun saya lihat SK KD kelas 1 sd terlalu tinggi, karena yang bikin peraturan blom pernah praktik di TK dan kelas 1 sd makanya bu/pak, yang bikin aturan harus JADI GURU TK DAN GURU KELAS 1 SD DULU" masa sih belum pernah terjun di lapangan buat aturan permainan ( mungkin sih para pengambil kebijakan dan pembuat peraturan itu ahli dalam teori, namun kadang2 teorisaja tidak bisa dipraktikkan di lapangan, Hahahaha,....!
BalasHapus