Liburan semester ini sepakat mau mengajak anak-anak naik gunung. Dan pilihan jatuh ke Muria. Selain lokasinya dekat dari rumah, juga anak-anak belum pernah diajak ke sana. Barangkali cuma si sulung yang dulu pernah ngikut mbahe ziarah wali songo. Maka setelah mencari waktu yang tepat, berangkatlah kami di hari Sabtu. Mulanya kita mau berangkat hari Minggu, tapi seorang sepupu yang berencana mau ikut ada briefing Penerimaan Siswa Baru. Jadi kita ngalah berangkat ke gunung dimajukan hari Sabtu.
Pukul 6 pagi anak-anak sudah bersiap. Tinggal menunggu para sepupu yang hendak ikut. Wah, rame jadinya. Kami berangkat melalui Kudus. Cuaca yang tak begitu panas benar-benar mendukung kegiatan jalan-jalan pagi ini.
Tujuan pertama ke Gunung Muria. Ini adalah kunjunganku yang ketiga. Sekali ikut rombongan bapak waktu baru lulus SMA. Dan sekalinya ikut rombongan remaja masjid di tempatku. Dan terakhir aku ke sini, aku terpisah dari rombongan. Karena teman-teman remaja masjid berencana ke air terjun Montel tetapi mereka tidak memberi tahu aku. Alhasil aku bete menunggu di parkiran bis.
Setelah melalui satu jam perjalanan, Gunung Muria mulai tampak di depan mata. Anak-anak begitu gembira. Jalan berkelok yang dilalui membuat mereka menjerit kecil karena di sisi kanan kami adalah jurang menganga. Setelah sampai di parkiran, suasana cukup ramai dengan para peziarah. Maklum, sebentar lagi bulan Ramadhan. Dan biasanya aktivitas ziarah terhenti. Jadi sebelum memasuki Ramadhan para penyuka wisata religi ini memuaskan diri melakukan perjalanan ziarah.
Rencananya aku mau jalan kaki saja untuk naik ke makam Sunan Muria. Tapi bujukan tukang ojeg begitu gencar. Sehingga aku nyerah. Akhirnya ngojeg untuk naik ke puncak. Lagipula aku mendengar kalau naik ojeg itu pemandangannya lebih fantastis. Sedangkan kalau jalan kaki, kita hanya nemui pedagang yang berderet di sisi kiri kanan jalan. Sama sekali nggak asyik. Jadi kuputuskan untuk naik ojeg.
Dan pengalaman naik ojeg naik ke Muria, benar-benar tak terlupakan. Pemandangannya memukau mata. Ingin rasanya mengabadikan semua itu dengan lensa kamera. Tetapi jalan yang sempit, menanjak dan berliku mau tak mau membuat jantung serasa empot-empotan. Apalagi tukang ojegnya main kebut saja. Sehingga tak jarang putri kecilku berpegangan erat sekali. Benar-benar memacu adrenalin.
Tak terbayang deh kalau sampai jatuh. Karena di sisi kami jurang menganga lebar. Hmm, benar-benar pengalaman luar biasa. Sampai di pos ojeg atas keringat dingin membanjir bercampur dengan hawa sejuk pegunungan. Akan tetapi pengalaman ini betul-betul tak terlupakan.
Usai melakukan ziarah ke makam Sunan Muria, kami turun ke parkiran. Rencananya kami mau ke Air Terjun Monthel. Kami turun melalui jalan setapak yang biasa dipergunakan para peziarah. Melewati para pedagang yang menawarkan dagangannya. Di sini aku begitu penasaran dengan buah parijoto. Buah yang biasa dikonsumsi oleh wanita hamil yang konon bisa membuat anak yang dikandung menjadi rupawan. Itu adalah mitos yang beredar di masyarakat. Dan kendati nggak lagi hamil, aku beli saja dua tangkai. Penasaran dengan rasanya yang ternyata sungguh tidak enak. Sepet banget. Selain itu aku juga terpesona dengan buah delima yang besar-besar itu. Harganya cukup mahal. Sepuluh ribu sebiji. Atau aku yang nggak bisa nawar. Entahlah.
Selain buah delima aku juga membeli dua biji pamelo seharga lima belas ribu serta dua buah sirsat. Hmm, buah sirsat di sini cantik-cantik. Benar-benar matang di pohon. Jadinya turun ke bawah dengan barang bawaan yang semakin berat. Apalagi putriku nggak mau diajak santai. Maunya lari terus mengejar kakak-kakaknya yang sudah ada di depan.
Setelah sampai di parkiran kami istirahat sejenak. Habis itu langsung tancap gas lagi naik ke Air terjun Monthel. Ibu mertuaku memutuskan tidak ikut. Begitu juga ibuku. Tetapi melihat semangat anak-anak, akhirnya ayah dan ibuku memutuskan untuk ikut naik. Pingin lihat juga katanya. Baru melalui tanjakan yang super berat dekat masjid, ibuku sudah nggak kuat, dan akhirnya memutuskan naik ojeg. Kalau aku mah kapok naik ojeg. Ngos-ngosan dikit nggak apa-apa. Kami mendaki dengan berjalan kaki. Dari tanjakan menuju Montel kami bisa melihat jalur yang kami lalui saat naik ke Makam Sunan Muria. Baik itu jlur pejalan kaki ataupun jalur ojeg. Subhanallah, jalurnya benar-benar berliku. Dari kejauhan kelihatan para tukang ojeg hilir mudik menyusuri punggung gunung membawa penumpang naik ke Makam Sunan Muria.
Kami naik ke Monthel melalui jalan pintas. Wah, sempat cemas juga, mengingat tadi Bapak dan Ibu naik ke Monthel naik ojeg. Takutnya mereka akan kesasar. Tapi kami terus saja. Pemandangan di kanan kiri kami sangat luar biasa. Hutan perawan dengan pepohonan yang rimbun. Jalan setapaknya lumayan bagus. Sampai di pos penjagaan kami membeli tiket seharga Rp5.000,-
Sampai di atas, ternyata Bapak dan Ibu sudah menunggu. Katanya mereka diberi tahu tukang ojeg arah ke Monthel. Syukurlah. Setelah menyusuri jalan setapak dari kejauhan terdengan gemericik air terjun. Di bawah sana sudah ramai pengunjung. Kebanyakan anak-anak muda. Mereka padha mandi di bawah air terjun. Anak-anakku juga kelihatan gembira. Tak sabaran segera ingin turun ke air terjun. Tapi karena baju ganti kami tertinggal di mobil, kami tidak berani berbasah-basah ria. Cukup main air yang begitu bening dan dingin. Tak lupa juga foto-foto.
Kalau ada yang cukup mengganggu kesenangan kami itu adalah para pedagang yang maksa kita buat beli jajanannya. Selain itu dua warung yang ada sebelum turun ke air terjun juga begitu mengganggu pemandangan. Kok mendirikan warung di situ sih ya??
Usai bersenang-senang di bawah air terjun kami kembali ke parkiran. Rencana selanjutnya ke Pantai Bandengan. Wow, rindu banget dengan pantai berpasir putih itu.
Bersambung.
Parijoto rasanya bagaimana sih Mbak?
BalasHapusSepet banget, nggak ada asyik-asyiknya, :(
Hapus