Jika sudah mampir silahkan tinggalkan Pesan, Kritik atau Saran pada kolom komentar. Sebagai tanda persahabatan

Rabu, 16 Oktober 2013

KEBANGGAAN KECIL SI PEMIMPI



Sejak kecil aku ini adalah si pemimpi. Atau tepatnya si pengkhayal. Sama nggak sih kira-kira? Dulu aku kerap memimpikan alangkah enaknya jadi anak orang kaya. Punya baju bagus dan bisa kemana-mana naik mobil. Pingin bisa jalan-jalan di akhir pekan, karena aku ini gemar banget jalan-jalan. (Boleh nggak bermimpi seperti itu). Pingin banget bisa naik gunung, namun nggak pernah kesampaian karena ortu nggak pernah ngijinin. Namun karena semua itu nggak kesampaian, aku akhirnya hanya bisa bermimpi.

Dan mimpi-mimpi itu aku tuangkan ke dalam bentuk cerita. Ya, sejak dulu aku seneng sekali nulis cerita. Ceritanya tentang mimpi-mimpi aku yang tidak kesampaian. Begitu gilanya aku nulis cerita. Sampai-sampai saat pelajaran berlangsung kalau gurunya nggak asyik aku pasti sembunyi-sembunyi nulis cerita. Nulisnya bener-bener nulis. Pakai tangan di buku pelajaran sekolah. Namun akhirnya aku sedia buku khusus buat nulis cerita nuangin mimpi-mimpi gilaku. Kalau sudah selesai dikasihin teman-teman untuk dibaca. Aku senang karena teman-temanku senang juga membaca lukisan mimpiku.

Pernah suatu ketika buku mimpiku dirampas sama guru. Wah, malu banget. Tapi pas buku mau aku ambil ke kantor Bu Guru malah bilang, “Belum selesai aku baca. Ntar ya kalau sudah selesai aku kembalikan.”

Wah, serasa mendapat angin baru. Jadi makin bersemangat menulis. Lalu aku pun punya mimpi baru. Pingin jadi penulis cerita kaya Gola Gong, Zarra Zetirra ZR, Ganda Pekasih, Benny Ramdani, Cahya Sadar yang namanya sering nongol di majalah remaja kesukaanku. Dari hanya bermimpi nulis di buku tulis, aku beranikan diri ngirim cerita hasil mimpiku ke majalah remaja kala itu. Hasilnya… semua ceritaku ditolak. Wah, pupus sudah mimpi-mimpiku. Jadi melempem seperti kerupuk tersiram air. Kata teman-teman itu salah satu kejelekan aku, gampang banget menyerah.

Dan karena ujian sekolah sudah dekat, aku putar mimpiku untuk kembali ke dunia nyata. Seperti harapan orang tua, tentunya aku harus lulus ujian dan bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Untuk meraih gelar akademik yang nantinya bisa digunakan buat cari kerja. Waktu itu aku mengangankan untuk menjadi guru. Kenapa sih dari penulis ingin menjadi guru. Aku pun tak tahu. Namun yang terjadi, impianku di dunia nyata kembali kandas. Aku gagal kuliah. Karena ketiadaan biaya. Maklumlah, aku lahir di keluarga sederhana yang hanya punya mimpi-mimpi sederhana.


Sempat merasa galau menjadi makluk yang gagal. Karena merasa tak memiliki apapun untuk dibanggakan. Sempat galau kalau bertemu dengan teman-teman yang telah berhasil menjadi “orang”. Parahnya lagi itu membuatku berhenti untuk bermimpi. Aku jadi seperti berjalan di tempat. Terserah hidup hendak membawaku ke mana.

Sampai akhirnya aku bertemu dengan suamiku. Lelaki yang dituntun Tuhan untuk memberiku mimpi-mimpi yang baru. Mengadopsi mimpi-mimpi lamaku. Memberikan sedikit kebanggaan untukku. Dan tentunya kebanggaan untuk kedua orang tuaku juga. Yah, aku mendapat kesempatan mewujudkan mimpiku. Aku menjadi guru. Seperti cita-cita realistisku. Kendati aku hanya mengajar di sebuah Taman Kanak-Kanak. Selain itu aku berkesempatan melanjutkan kuliah. Senang, tentu saja. Bangga, tentu saja. Apalagi setelah aku menjadi siswa terbaik di kelompokku.

Perjalananku sebagai seorang guru bukan sesuatu yang mudah. Statusku hanyalah guru wiyata bhakti. Dengan honor pertama tak lebih dari harga dua kilo gula pasir. Namun aku bertahan. Kendati dalam hati aku sering kali pula menangis. Untuk apa? Demi sebuah kebanggaan. Kebanggaan yang tak kutahu apa maknanya. Aku pernah pula hendak menghapus mimpiku menjadi guru, namun aku mencoba menelisik kebanggaanku yang lain.


Kebanggaan yang lain, aku bisa lulus cumlaude. Kendatipun status lulus cumlaude itu juga tidak mengentaskan nasibku dari status guru Wiyata Bhakti. Aku tetap sama saja dengan mereka yang punya IP 1 atau 2. Tak ada bedanya. Lalu aku beroleh kesempatan untuk mengukir kebanggaan yang lain. Sebuah prestasi yang cukup prestise dapat aku raih. Aku menjadi juara pertama lomba guru berprestasi tingkat kabupaten dan berhak mewakili di tingkat propinsi. Sayangnya di propinsi aku hanya sampai di peringkat 5. Namun aku cukup senang, aku bangga, karena berhasil membuktikan diri, dengan kerja keras aku bisa berhasil. Kendati aku hanya guru wiyata bhakti yang kerap dipandang sebelah mata namun aku bisa pula berprestasi. Namun lagi-lagi itu hanyalah kebanggaan kosong. Tidak memberikan aku kepuasan apa-apa. Tak mengubah status keguruanku menjadi lebih baik dengan adanya prestasi yang aku peroleh. Aku tetap sama saja dengan guru yang tidak berprestasi sekalipun. Tak ada artinya.


Lalu perkenalanku dengan dunia internet memunculkan mimpi masa kecilku. Mimpi yang pernah aku pendam cukup lama. Mimpi ingin menjadi seorang penulis buku. Dan alhamdulillah, suami mendukung. Kendati butuh perjuangan panjang untuk bisa mewujudkan mimpi-mimpiku itu. Namun satu dua mimpiku mulai bisa jadi kebanggaanku. Beberapa kali aku memenangi lomba menulis cerita.

Dan beberapa karya juga muncul di media masa. Bahkan sudah ada yang diterbitkan. Apa aku telah memiliki kebanggaan. Tidak! Aku merasa belum punya apa-apa. Aku belum seberapa. Impian sang pemimpi masih jauh. Kebanggaan seperti apa sih yang ingin aku rasakan? Aku tidak mau kebanggaan itu menjebak diriku dalam sebuah kesombongan.


Dan akhirnya setelah merenung cukup lama, aku memahami kalau kebanggaan itu adalah ketika aku dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain, walau itu kecil artinya. Untuk kedua orang tuaku yang bangga anaknya telah berhasil menjadi “orang” dalam pandangan tua mereka. Untuk murid-muridku. Kala aku datang ke sekolah, dan mereka menyambutku dengan hangat. Untuk binar-binar di wajah mereka kala aku mengajari anak-anak itu menggerakkan pensil untuk mulai mengukir kata, mengeja huruf demi huruf untuk menemukan makna, menanamkan pada mereka tentang karakter yang baik saat aku mendongeng di hadapan mereka, melihat mereka bertumbuh menjadi anak-anak manis yang selalu menyapaku riang saat bertemu di jalan, kendati aku hanyalah salah seorang mantan guru mereka. Itulah kebanggaan kecilku. Yang selalu ingin kujaga, agar aku tidak menjadi sombong karenanya.

Sekali lagi mengingat isi dari book trailer: Kepuasan itu dari ‘sini’ (nunjuk ke hati -dalam diri-), bukan dari ‘sana’ (nunjuk ke orang lain).

Semoga tulisan ini cukup berharga.



Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Artikel CineUs Book Trailer Bersama Smartfren dan Noura Books

4 komentar:

  1. Terharu banget, Mak.

    Mimpi itu terwujud karena adanya usaha dan kerja keras. Salute dengan perjuangan Emak mencerdaskan anak-anak. Semoga makin bermanfaat, Mak.

    Tetap Semangat, Mak ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih untuk dukungannya, Mak E. Novia. Salam Kenal ya, Mak, :)

      Hapus
  2. Usaha yang mengharukan, Mbak. Salut :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas apresiasinya, Mbak Evi Sri Rejeki.

      Hapus