Jika sudah mampir silahkan tinggalkan Pesan, Kritik atau Saran pada kolom komentar. Sebagai tanda persahabatan

Senin, 07 Juli 2014

[Cerita Anak] Pohon Ramadan

Lama nian tidak ngirim tulisan di media. Kangen pingin nulis-nulis lagi.

Alhamdulillah dimuat di Junior Suara Merdeka Minggu, tanggal 6 Juli 2014. Judulnya Pohon Ramadan. Pas banget dengan momen Ramadhan saat ini. Jadi intinya, nulis sesuai tema yang sedang terjadi, kemungkinan dimuat menjadi lebih besar. Selamat menulis.


Pohon Ramadhan

Oleh : Sri Wahyuti


Bulan puasa telah tiba. Seluruh umat muslim gembira menyambutnya. Mereka semua berpuasa. Menahan lapar dan dahaga. Puasa menjadi sarana untuk berlatih menahan diri dari segala godaan. Melatih empati terhadap penderitaan sesama yang kurang beruntung. Semua gembira. Kecuali Tina.

“Huh, bulan puasa nggak enak,” keluhnya.

Ibu yang sedang menyapu tertegun mendengarnya. Sambil tersenyum ibu menghampiri Tina.

“Kenapa?”

“Enggak boleh makan, enggak boleh minum, enggak boleh jajan,” gerutu Tina.

“Namanya juga lagi puasa, Tina,” Ibu tersenyum.

Tahun lalu Tina sudah mulai puasa setengah hari. Tapi puasa Tina banyak yang bolong. Ia tidak kuat. Bermain seharian membuatnya kehausan. Ibu sudah menasehati untuk tidak lari-larian. Tapi Tina tidak mengindahkan nasehat ibu.

Tina anak yang aktif dan energik. Ia tidak betah berlama-lama hanya menonton TV atau membaca buku. Ia lebih senang bermain lari-larian, kejar-kejaran dengan anak tetangga. Akibatnya puasa Tina banyak yang batal. Untuk tahun ini Tina sudah berjanji untuk puasa seharian penuh. Namun baru jam tiga rasanya sudah tidak tahan.

“Tina bosan,” keluhnya.

Seharian tidak melakukan apa-apa membuatnya tertekan.

“Tina kan bisa membaca buku. Atau membantu Ibu menyiapkan hidangan berbuka,” kata Ibu.

“Tapi Tina lemas,” katanya.

“Sabar ya, sayang. Waktu berbuka sebentar lagi,” hibur Ibu.

Ibu kembali melanjutkan pekerjaan. Sementara Tina menunggu waktu berbuka dengan rasa bosan. Semua buku sudah ia baca. Semua game sudah ia mainkan. Mau main keluar rasanya lemes. Tina beranjak ke dalam kamar. Ia berbaring sembari menunggu waktu berbuka. Dan akhirnya Tina ketiduran.

“Tina, bangun Nak. Sudah waktunya berbuka,” Ibu menggoyang-goyangkan kaki Tina dengan lembut.

Tina menggeliat.

“Sudah waktunya berbuka,” kata Ibu lagi.

“Betul, Bu?” Tina terlonjak dari tempat tidurnya.

“Iya, sudah adzan maghrib,” Ibu tersenyum.

Bergegas Tina turun dari tempat tidur. Tak sabar rasanya hendak segera melesat ke ruang makan. Ibu tentu sudah menyiapkan sesuatu yang istimewa.

“Eits, cuci muka dulu,” kata Ibu.

Tina tersenyum malu. Ia lalu pergi ke kamar mandi. Setelah mencuci muka, badan rasanya segar. Bersama Ibu, Tina menuju ruang makan. Di sana Ayah telah menunggu mereka. Aneka hidangan tersaji di atas meja. Ada kurma, ada pisang goreng, dan ada es buah kesukaan Tina. Tak sabar rasanya hendak mencicipi itu semua.

Namun mata Tina tertumbuk pada sudut ruangan. Ada yang berubah di sana. Ada pohon besar yang terbuat dari plastik.

“Baru ya, Bu?” tanya Tina sambil menunjuk pohon di sudut ruangan.

“Iya. Ayah yang membuatnya,” kata Ibu.

“Kok Tina tidak tahu?”

“Kan kau tertidur tadi,” kata Ayah.

“Pohon Ramadhan. Apa maksudnya?” Tina membaca tulisan yang ada di pohon besar itu.

“Iya, itu pohon Ramadhan. Hadiah untuk Tina,” kata Ayah.

Ramadhan kok dapat hadiah pohon. Aneh deh, Tina nyengir. Bukannya ngasih hadiah buku-buku ngaji atau apa gitu yang berhubungan dengan bulan puasa.

“Dan hari ini pohon Ramadhan telah berbuah,” kata Ibu tersenyum.

“Berbuah?” kening Tina berkerut. “Itu kan pohon plastik, Ibu. Bagaimana bisa berbuah?”

“Bisa. Ini buahnya,” Ibu mengeluarkan sebuah apel plastik yang berwarna merah merona.

Mata Tina tertuju pada buah apel yang dipegang Ibu. Ada namanya di sana.

“Pohon ini berbuah karena Tina sudah berpuasa dengan baik hari ini. Untuk puasa Tina mendapatkan buah Apel merah. Untuk shalat Tina mendapatkan apel berwarna kuning. Selain itu masih banyak buah apel yang lainnya. Tina mau semua buah apel ini?” Ibu mengeluarkan sekantung buah apel plastik yang berwarna-warni.

Tina tertegun mengamati buah apel yang dipegang Ibu.

“Nanti di akhir Ramadhan Tina bisa tukarkan buah-buah ini dengan hadiah dari Ayah dan Ibu,” kata Ayah tersenyum. “Sekarang Tina bisa menggantung buah apel ini di pohon Ramadhan.”

Sekarang Tina mengerti. Dengan senang hati diterimanya buah apel dari tangan Ibu. Buah di pohon Ramadhan ini akan semakin bertambah seiring dengan kebaikan yang Tina lakukan. Tina menjadi bersemangat. Ia berjanji akan mengisi pohon Ramadhan itu dengan buah kebaikan sebanyak-banyaknya.
***
Ayo Semangat...

6 komentar:

  1. bagus banget ceritanya mba, asyik mbacanya :)

    BalasHapus
  2. Terima kasih Mbak Uniek. Aku nulisnya juga enak kok waktu itu. Mengalir begitu saja. Gak nyangka deh, hari rabu kirim eh minggunya dimuat. Rejeki buat aku. Alhamdulillah. :) Terima kasih telah mampir.

    BalasHapus
  3. Rejeki ramadhan ya mbak. Bener banget ceritanya bagus, mengalir enak dan tidak menggurui.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya Mbak Hidayah. Idenya juga simple. Dari baca-baca status facebook... :)

      Hapus
  4. Kalimatnya mudah dimengerti anak2 mba :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mudah-mudahan Mbak Rosita Dani. Kalau kita nulis buat mereka, ya kita ibaratkan diri kita itu mereka (anak-anak). Terima kasih telah mampir ya Mbak... :)

      Hapus