Hari Jum’at kemarin aku bersama rombongan guru-guru lainnya menghadiri walimahan seorang rekan. Turut bersama rombongan kami ibu guru sepuh yang sudah pensiun beberapa waktu lalu. Wah, senangnya bukan main. Aku yang sudah kangen pada beliau begitu senang dengan pertemuan ini. Ibu guru sepuh tampak sehat.
Sampai di acara walimah suasana masih sepi. Karena memang belum waktunya para undangan datang. Kami lalu berfoto ria dengan sang pengantin. Dan ketika usai sesi foto bersama tiba-tiba sang fotografer menghampiri kami. Tepatnya sih menghampiri ibu guru sepuh yang kebetulan duduk di sampingku.
Sang fotografer menyalami Ibu Guru sepuh. Sambil mencium tangan beliau sang fotografer ini mengatakan kalau ia adalah mantan muridnya. Lha Ibu Guru sepuh tentunya lupa sama nama muridnya yang satu ini. Karena terhitung sudah puluhan tahun. Dari jaman orok umur 5 tahun kala diajar Ibu Guru sepuh dan kini menjadi sosok manusia dewasa. Wajah pun telah berubah.
Ibu Guru sepuh senyum-senyum sambil nanya namanya si Mas fotografer ini. Lalu perbincangan pun terjadi antara Ibu Guru sepuh dan mantan muridnya ini. Ibu Guru sepuh kelihatan sumringah. Senang karena masih ada muridnya yang terus mengingat beliau. Kendati jaman telah berubah. Lalu Ibuu Guru sepuh juga bercerita kalau kemarin baru periksa ke dokter. Dan ternyata si dokter ini juga mantan muridnya Ibu Guru sepuh. Ibu Guru sepuh menjadi rikuh karena ia dibebaskan dari biaya pemeriksaan. Lain kali mau periksa ke sana lagi jadi pekewuh, katanya.
Dalam hati aku berpikir, seperti inilah guru yang sukses itu. Dia berhasil mendidik muridnya dengan baik. Dan si murid pun masih mengakui dan hormat pada gurunya eh mantan guru TK-nya sekian puluh tahun lalu.
Dan aku kembali teringat dengan tulisan dari Pak Suyatno, tentang Memburu Roh Guru Berprestasi. Di sana dikisahkan tentang 3 orang guru. Bu Mus, Pak Fredy dan Pak Toyo. Bu Mus mengajar dengan ketulusan hati. Gedung sekolahnya hampir ambruk, namun ia mampu mengantarkan ke 12 muridnya berkembang sesuai dengan karakteristik masing-masing. Hingga mereka semua menjadi “orang”.
Pak Fredy, seorang guru yang energik, serign ikut pelatihan, akrab dengan dunia internet, dekat dengan pengambil kebijakan, serta selalu memenangi beberapa perlombaan untuk guru. Muridnya senang dengan kesuksesan Pak Fredy. Namun dari 40 orang muridnya hanya 5 yang bisa menjadi “orang”
Lain lagi dengan Pak Toyo, beliau tidak kenal internet, buta terhadap lomba guru, berpenampilan biasa-biasa saja. Namun Pak Toyo mengenali murid-muridnya satu demi satu sehingga mampu menentukan menu pembelajaran sesuai dengan kemampuan masing-masing anak. Pak Toyo selalu datang ke sekolah tepat waktu, menyapa anak penuh kehangatan, dan masing-masing muridnya mampu mengenali jati dirinya masing-masing. Ketika dewasa si murid berhasil memperoleh pekerjaan sesuai karakternya.
Melihat gambaran dari ketiga guru tersebut siapa yang layak disebut guru berprestasi? BU Mus, Pak Frady atau Pak Toyo?
Jika dilihat dari keberhasilannya mendidik murid, maka yanglayak disebut guru berprestasi adalah Bu Mus dan Pak Toyo. Tapi jika dilihat dari banyaknya piala dan sertifikat penghargaan maka Pak Fredy-lah orangnya.
Hmm, agak susah juga jadinya.
Kembali ke Ibu Guru sepuh. Ibu Guru sepuh bukanlah orang yang berpendidikan tinggi. Ijasahnya hanya SKP menjahit. Setara SMP. Namun Ibu guru sepuh sangat berdedikasi dalam mendidik murid-muridnya. Dua tahun sampai masa pensiunnya aku adalah patner mengajarnya. Memang sih, karena pendidikanku lebih tinggi, akulah guru inti di kelas. Namun bukan berarti aku lebih hebat dari beliau. Aku masih kalah jauh, terutama dalam hal menangani anak-anak. Kendati demikian aku bisa melihat semangat yang menyala-nyala dalam diri Ibu Guru sepuh untuk mengajari setiap murid kami. Dan dilihat dari segi keuangan, Bu Guru sepuh sama sekali bukan orang yang sukses. Beliau bukan guru PNS. Dan pengabdiannya selama 35 tahun lebih menjadi guru pensiun dengan honor terakhir sekitar 450ribu. Namun sungguh Bu Guru Sepuh tidak melihat dari sisi materi dalam mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan.
Dalam beberapa kali perbincangan semasa masih menjadi patner kerja, Bu Guru sepuh berulang kali bilang, memang ia tidak S1, tidak memahami teori mengajar, namun ia selalu berharap semau muridnya mengerti akan pelajaran yang ia sampaikan, menjadi anak soleh solehah dan berhasil menjadi orang. Itu adalah sebuah kebanggaan, katanya.
Dan kebanggaannya terjawab sudah. Kendati muridnya sudah sama-sama tua, mereka masih mengingat Ibu Guru sepuh sebagai gurunya. Padahal Ibu Guru sepuh hanyalah salah satu dari guru TK. Yang kebayanyak tidak diperhitungkan sama sekali. Namun anak-anak justru mengingat dengan baik.
Bagaimana denganku? Mungkinkah aku masih akan tetap dikenang oleh murid-muridku kala mereka besar nanti? Semoga saja. Aku masih harus banyak belajar dari Ibu Guru sepuh.
kebanggaan seorang guru adalah saat melihat siswanya sukses. dan lebih bangga lagi saat siswanya itu mau menyapa dirinya. ini memiliki arti bahwa profil gurunya itu adalah baik dan ramah pada siswanya :)
BalasHapusSetuju Miss Rochma. Memang itulah sejatinya kebanggaan seorang guru. Terima kasih telah mampir. Salam kenal, ya, :)
BalasHapus